Minggu, 04 Januari 2009

Pilkada Sebagai Demokratisasi Poloitik Lokal

Kajian tentang Pilkada secara langsung pada dasarnya merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagai mana dinyatakan oleh Tip O Neiil,”all politics is lokal”, yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat diaras nasioanal apabila tingkatan yang lebih rendah (Lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat.Pilkada secara langsung adalah perkembangan menarik dalam sejarah perpolitikan lokal di Negeri ini, karena pilkada langsung merupakan momentum pelekatan dasar fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal.
Secara sederhana demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapat kekuasaan melalui pertarungan kompetitif memperebutkan suara rakyat. Pemaknaan demokrasi, dengan tekanan pada konsep kompotisi dan partisipasi, antara lain di anut oleh Samuel P.Huntinton. Berlangsungnya Pemilu berkala yang bebas adil, demokratis, kompotitif, dan dengan hak pilih universal merupakan pembeda paling penting antara sistem demokrasi dan sistem otoriter.
Syamsudin Haris di dalam Analisisnya yang berjudul Pilkada Langsung dan Penguatan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX dan Kongres VI AIPI. “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005, mengatakan bahwa meskipun Kepala-Kepala Daerah hasil Pilkada memiliki legitimasi yang kuat lantaran di pilih secara langsung, Pemerintaha lokal produk Pilkada belum tentu menjanjikan kualitas demokrasi lokal dan tata pemerintahan daerah yang lebih baik. Selain problem legitimasi yang kompleks, masyarakat tampaknya harus siap kecewa terhadap kualitas kinerja dan akuntabilitas mereka.
Bob Sunggeng Hadiwinata dan Puis Sunggeng Prasetyo Di dalam paparanya yang berjudul “Dinamika Low Politics: Kontribusi Demokrasi Lokal (Pedesaaan) terhadap Demokratisasi di Indonesia” yang di sampaikan dalam Seminar Internasional keenam, kampoeng percik, Selasa 2 Agustus 2005 mengatakan, bahwa hal yang membedakan demokrasi lokal dengan demokrasi lainnya adalah bahwa demokrasi lokal terdapat unsur otonomi lokal yang menyangkut kebebasan dari intertensi politik pusat, dan kebeasan untuk merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma lokal. Kedua hal tersebut penting, mengingat bahwa besarnya intervensi pusat sebagaimana tercermin pada Orde Baru, ternyata mematikan demokrasi dan bahwa berbagai aktivitas seperti seleksi kepemimpinan, kontrol, dan bahkan pembuatan keputusan sering kali melibatkan norma institusi- institusi tradisional setempat.
Syarif Hidayat di dalam Makalhnya yang berjudul “Urgensi dan Bahaya Pilkada” yang dismpaikan pada seminar Internasional keenam, Kampoeng Percik, 2 Agustus 2005 mengatakan bahwa Desentralisasi dan Otonomi Daerah sangat terkait dengan pencapaian tujuan hakiki dari Disentralisasi dan otonomi Daerah, yakni melahirkan good governance, kemakmuran, dmokratisasi ditingkat lokal. Beberapa ilmuwan mencoba membangun preposisi atau postulat, misalnya Brian Smith mengatakan bahwa Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu prasyarat untuk terujutnya accountability, responsvitas dan political equity (persamaan politik) di tingkat lokal. Hal serupa juga dikemukakan arghiros, yang mengatakan Desentralisasi sebagai alat dan demokratisasi sebagi tujuan, maka pilkada merupakan bagian yang menghubungkan alat tujuan tadi.
Tommi A. Legowo di dalam analisisnya yang berjudul Pemilihanan Kepala Daerah Secara langsung, Good Governance dan Masa Depan Otda yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX dan Kongres VI AIPI “Pilkada Secara Langsung dan Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005 mengatakan bahwa Pilkada secara langsung sebenarnya merupakan pengejawantahan salah satu perinsip Good Governance, yaitu prinsip partisipasi publik, dalam arti publik secara langsung terlibat dalam proses menentukan keputusan untuk memilih Kepala Daerah. Terselenggaranya Good Gavernance di daerah akan merupakan jaminan bagi Otonomi Daerah yang ;langsung dan bermutu. Tetapi Otonomi daerah yang di dasarkan pada program Desentralisasi pemerintahan juga akan tergantung pada Polotical Will & Political Commitment dari pemerintahan di tingkat pusat. Kedua hal ini merupakan faktor- faktor utama untuk menimbang masa depan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah yang di dasarkan pada program Desentralisasi meniscayakan kewenangan pemerintah pusat untuk menentukan seberapa besar dan luas Otonomi Daerah itu akan di berikan. Pemerintahan pusat yang di kuasai secara bergantian oleh kekuatan- kekuatan politik yang berbeda-beda aliran dapat berpengaruh terhadap berubah-ubahnya kebijakan desentrilisasi yang di terapkan untuk masa-masa yang berbeda-beda.
Smith, Dahl, maupun Mawhood mengatakan bahwa untuk mengujutkan apa yang di sebut: Lokal Accountability, Political equity, and lokal responsiveness, yang merupakan tujuan Desentralisasi, ada beberapa prasyarat yang harus di penuhi yakni: Pemerintahan Daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki Pendapatan Daerah sendiri (lokal own income); meimiliki lembaga perwakilan rakyat (lokal representative body) yang berpungsi untuk mengontrol Eksekutif Daerah; dan adanya Kepala Daerah yang di pilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilihan umum (Syarif Hidayat, 2002).
Fitriyah di dalam Teorinya yang berjudul Sistem dan Proses Pilkada Secara Lngsung yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX & Kongres AIPI VI : “Pilkada secara langsung & Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005 mengatakan bahwa kebijakan Otonomi luas dibawah UU. No.22/1999 belum membawa perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Dalam Pilkada peran rakyat sangat minimal, karena UU No.22/1999 menentukan bahwa Kepala Daerah di pilih sepenuhnya oelh DPRD bukan oleh rakyat secara langsung. Ini tidak menjadi masalah tatkala fungsi sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya yang di emban oleh DPRD menjadi proritas, yakni menyerap aspirasi, mengartikulasi kepentingan, menggagregasi kepentingan rakyat daerah, termasuk menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Namun sayang proses politik di daerah realitasnya masih di dominasi oleh elit DPRD. Dengan kata lain UU. No.22/1999 sesungguhnya menggunakan sistem Parlementer.
Berbeda halnya yang di kemukan oleh Tommi A.Legowo di dalam Analisisnya yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Good Governance & Masa Depan Otonomi Daerah yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX & Kongres VI AIPI “ Pilkada Secara langsung & Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005 Mengatakan bahwa pasal-pasal yang terdapat di dalam UU. No.32/2004 terkesan nuansa Re-sentralisasi terhadap Otonomi Daerah yang selama ini telah dinikamati oleh Daerah berdasarkan UU. No. 22/1999. ketentuan-ketentuan tentang peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 186), misalnya, mencerminkan lunturnya Otonomi Daerah Kabupaten/Kota karena sebelum Pemerintahan Daerah dapat mengesahkan rancangan Perda tersebut rancangan itu harus mendapat persetujuan dari Gubenur, yang tidak lain adalah wakil Pemerintahan Pusat di Daerah.

Pilkada Menurut UU No.32/2006 & UU.11/2006

Berbicara pilkada ada dua yang harus di perhatiakan , yaitu:
1) Undang-undang No. 32Tahun 2006 tentang pemerintahan daerah.
Undang – undang No. 32/2006 tentang pemerintahan daerah melahirkan sebuah gagasan Otonomi Daerah secara luas kepada Kabupaten/Kota yang didasarkan pada program disentralisasi. Otonomi (Autonomie) berasla dari bahasa Yunani yaitu kata auto yang berarti sendiri & nomos yang berarti Undang-undang (TB. Silalahi,1996, mengutip kamus Petitlarousse). Dengan demikian Otonomi adalah “ pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahan Daearah. Menurut UU No.32/2006, Otonomi Daerah didefinisikan sebagi “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasrkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan desetralisasi berasal dari bahasa latin yaitu de yang berarti lepas, dan centrum yang berarti pusat. Dengan demikian Desentralisasi berarti dilepas atau lepas dari pusat. Davit Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya yang terkenal “Reinventing Goverment” (hlm.250), mengatakan ada empat keuntungan dari desentralisasi, yaitu:
1. Desentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada sentralisasi, oleh karena itu Desentralisai dapat merespon dengan cepat perubaha-perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat.
2. Desentralisasi jauh lebih efektif dari pada sentralisasi.
3. Desentralisasi jauh lebih inovatif dari pada sentralisi.
4. Desentralisasi lebih meningkatkan moral, komitmen dan produktifitas.
Di dalam UU No.22/1999 bahwa Kepala Daerah dipilih oleh DPRD bukan dipilih oleh rakyat, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Undang-undang No.22/1999 seperti yang telah disebut kan di atas.
2. Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang pemerintahan daerah Aceh.
Lahirnya UU. No.11/2006 tentang pemerintahan daerah Aceh ini di latar belakangi oleh berbagai ketidak sempurnaan dari peraturan perundangan yang dulu terbit yaitu UU.No.22/1999 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang pemerintahan Aceh No.11/2006. Yang di maksud pemerintahan daerah menurut Undang-Undang No.11/2006 adalah pelaksanaan fungsi- fungsi daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintahan Daerah dan DPRD.
Didalam undang-undang No.11/2006 pemelihan kepala daerah dilakukan secara langsung artinya kepala daerah dipilih langsung oelh rakyat. Jadi yang di maksud kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap kepala daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU.No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam UU. Ini dilakukan secara rakyat secara langsung dan Kepala Daerah dalam melaksankan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah, dan perangkat Daerah.

Konfik Elit Politik Lokal

Kajian ini membagi dua katagori elit dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.
A. Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit polotiknya seperti: Gubenur,Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik.
B. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses Pemilihan Kepala Daerah di tingkat lokal.
Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan-kepentingan politiknya. Pertama, dari segi pengertiannya, konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antar kekeuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antarkekuatan politik
(kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukan adanya perbedaan kepentingan. Karena itu, kepentingan dapat digunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam sebuah kelompok yang kecil maupun dalam suatu kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukan motif mereka berkonflik. Menurut Domhof, motivasi seseorang untuk merebut kekuasaan, selain dia ingin berkuasa, mereka juga inginkan uang, jaringan dan investasi strategis.
Menurut Webster (1966), istilah “Conflict” dilam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu berkembang dengan masuknya “ketidak sepaktan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict”menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan setatusnya sebagai sebuah kinsep tunggal. Di sisi lain konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (peceivetdivergance of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.
Marx, dalam Materialisme Dialektikalnya melihat fakta bahwa konflik mendorong timbulnya konflik lebih lanjut, bahwa perubahan tidak dapat dihindari, dan bahwa paling tiadak menurut pendapatnya, perubahan ini hampir akan selalu mengarah pada peningkatan mutu kondisi manusia. Dean G. Pruitt di dalam bukunya yang berjudul Teori Konflik Sosial melihat bahwa ada tiga (3) fungsi positif dari konflik, yaitu:Pertama, konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Dimana orang menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau menganggap bahwa kebijakan berlaku saat ini tolol biasanya mengalami pertentangan dengan aturang yang berlaku sebelumnya. Kedua, konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Artinya bahwa konflik tidak berakhir dengan kemenangan disalah satu pihak lainya. Ketiga, atas dasar kedua fungsi kedua tadi, konflik dapat mmempererat persatuan kelompok. Artinya tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas kelompok tampaknya akan merosot dengan membawa serta evektifitas kelompok dan kenikmatan pengalaman berkelompok (Coser 1956).
Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a).Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebutu menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru.
Ketiga, dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh masco, terutama karena terjadinya “ penjatuhan rejim,” konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya. Keempat, tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana di atur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit.
Kelima, dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku massa. Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antarwaktu misalnya, kita bisa meminjam kategori teoritik dari Amitai Etzionis (1961) yang membagi masyarakat atau massa kedalam tiga kategori besar. (1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat secara politik pada suatu orsospol karena loyalitas normative yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisis-krisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrap dengan modenitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum. Keenam, bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya “integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu, gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis.