Minggu, 04 Januari 2009

Konfik Elit Politik Lokal

Kajian ini membagi dua katagori elit dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.
A. Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit polotiknya seperti: Gubenur,Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik.
B. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses Pemilihan Kepala Daerah di tingkat lokal.
Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan-kepentingan politiknya. Pertama, dari segi pengertiannya, konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antar kekeuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antarkekuatan politik
(kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukan adanya perbedaan kepentingan. Karena itu, kepentingan dapat digunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam sebuah kelompok yang kecil maupun dalam suatu kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukan motif mereka berkonflik. Menurut Domhof, motivasi seseorang untuk merebut kekuasaan, selain dia ingin berkuasa, mereka juga inginkan uang, jaringan dan investasi strategis.
Menurut Webster (1966), istilah “Conflict” dilam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu berkembang dengan masuknya “ketidak sepaktan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict”menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan setatusnya sebagai sebuah kinsep tunggal. Di sisi lain konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (peceivetdivergance of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.
Marx, dalam Materialisme Dialektikalnya melihat fakta bahwa konflik mendorong timbulnya konflik lebih lanjut, bahwa perubahan tidak dapat dihindari, dan bahwa paling tiadak menurut pendapatnya, perubahan ini hampir akan selalu mengarah pada peningkatan mutu kondisi manusia. Dean G. Pruitt di dalam bukunya yang berjudul Teori Konflik Sosial melihat bahwa ada tiga (3) fungsi positif dari konflik, yaitu:Pertama, konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Dimana orang menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau menganggap bahwa kebijakan berlaku saat ini tolol biasanya mengalami pertentangan dengan aturang yang berlaku sebelumnya. Kedua, konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Artinya bahwa konflik tidak berakhir dengan kemenangan disalah satu pihak lainya. Ketiga, atas dasar kedua fungsi kedua tadi, konflik dapat mmempererat persatuan kelompok. Artinya tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas kelompok tampaknya akan merosot dengan membawa serta evektifitas kelompok dan kenikmatan pengalaman berkelompok (Coser 1956).
Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a).Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebutu menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru.
Ketiga, dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh masco, terutama karena terjadinya “ penjatuhan rejim,” konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya. Keempat, tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana di atur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit.
Kelima, dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku massa. Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antarwaktu misalnya, kita bisa meminjam kategori teoritik dari Amitai Etzionis (1961) yang membagi masyarakat atau massa kedalam tiga kategori besar. (1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat secara politik pada suatu orsospol karena loyalitas normative yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisis-krisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrap dengan modenitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum. Keenam, bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya “integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu, gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar